Arema dan Aremania, Singo Edan dari Stadion Kanjuruhan Malang, Loyalitas Tanpa Batas dalam Salam Satu Jiwa Aremania Aremanita.

Legenda Arema


Kuli Tinta Arema


Kisah Aremanita

Topics :
Home » » FIKSI: SATU JIWA DARI DUNIA LAIN

FIKSI: SATU JIWA DARI DUNIA LAIN


"Woy, minum dulu, Roy!" ucap Pras sembari menepuk pundak Roy dan menyodorkan sebotol air mineral pada sahabatnya itu.

"Eh, ya. Thank's." Roy tersenyum lalu mengambil air mineral yang diberikan Pras. Pemuda 25 tahun itu meminum beberapa teguk air dari dalam botol, sebelum akhirnya kembali fokus pada aktivitasnya semula.

Ya, kedua pemuda sebaya itu kini sedang duduk di atas salah satu tribun Stadion Kapten Dipta Bali. Lengkap dengan atribut serba biru dan kamera digital di tangan masing-masing, mereka menantikan Arema, tim yang mereka bela, memasuki lapangan pertandingan sore itu.

Tak hanya Roy dan Pras yang sengaja datang dari Malang untuk melihat langsung laga pada Senin sore tersebut. Ada pula ratusan Aremania lain yang turut membirukan tribun. Baik yang berasal dari Malang, Bali, maupun kota-kota di sekitarnya. Sehingga bukan hal yang mengherankan jika suasana dalam stadion begitu riuh karena nyanyian yel-yel penyemangat.

Beberapa kali Roy mencuri waktu untuk melihat jam tangannya. Pertandingan yang dinantinya, dimana Persiram akan berhadapan dengan Arema, akan dimulai sekitar satu jam lagi. Tidak menjadi masalah bagi pemuda itu, jika harus menunggu di bawah terik matahari sore berjam-jam lamanya.

"Asli Ngalam, Sam?" terdengar sapa seseorang dengan nada serak dari samping kanan Roy.

Roy menoleh, "Oh, iya, Sam." jawabnya singkat.

"Ayas Benadi. Arema Dewata." lelaki itu memperkenalkan diri.

"Ayas Roy. Salam kenal, Sam."

"Umak Aremania?" tanya lelaki yang mengenakan kaos Arema Dewata itu. Perkiraan usianya mungkin sekitar awal 30-an.

Roy mengernyitkan dahi heran. Dalam hati ia bertanya, apakah penampilannya yang mengenakan kaos dan syal Arema, ditambah lagi statusnya yang memang asli warga Malang tidak cukup memberikan jawaban atas pertanyaan singkat itu? Jujur saja, Roy jadi agak tersinggung.

Alih-alih menjawab, pemuda yang kini berstatus sebagai mahasiswa di Universitas Brawijaya itu lebih memilih untuk memotret suasana stadion dengan kamera digitalnya. Ia mengabaikan pertanyaan orang yang baru dikenalnya itu.

Merasa bahwa pertanyaannya mungkin telah menyinggung perasaan Roy, lelaki misterius tersebut mengalungkan tangan kirinya di pundak Roy. Beberapa kali ditepuknya lembut pundak Aremania yang sibuk dengan kamera digitalnya itu sebagai tanda ucapan minta maaf.

"Salam Satu Jiwa!" begitulah kata-kata lantang yang meluncur dari mulut Ben.

Mau tak mau, Roy pun membalasnya, "Salam Satu Jiwa!"

Dalam beberapa detik, Roy mengamati Ben yang kini telah larut pada nyanyian dan koreografi Aremania lain yang terlihat apik. Roy merasa ada yang aneh dengan lelaki yang baru ia temui itu. Sorot matanya saat bertanya apakah dirinya seorang Aremania begitu menusuk ke manik matanya, juga hatinya. Ia merasa seperti ada hal yang ingin ditegaskan oleh Ben padanya. Entahlah!

Satu jam berlalu, akhirnya kedua tim memasuki area pertandingan. Para pemain berbaris di tengah lapangan hijau seraya berdo'a lalu saling berjabat tangan. Usai berjabat tangan satu sama lain, peluit ditiup lantang oleh wasit pertanda kick off babak pertama dimulai. Aremania yang hadir di stadion kini sepenuhnya fokus pada tim kesayangan mereka mengolah si kulit bundar. Namun, bukan berarti mereka berhenti bernyanyi dan menari di atas tribun.

Sama seperti yang lain, Roy hanyut pada nyanyian yang membakar semangat menggebu dalam jiwanya. Ia tak memerdulikan keadaan di sekitarnya. Saat itu, ia merasa bahwa jiwanya terpanggil untuk memberikan suntikan semangat pada sang Singo Edan.

Sayang, pada 45 menit pertama, Arema kalah serangan dari tim lawan. Hasil kacamata tak berubah hingga jeda turun minum. Hal ini tentu membuat Aremania merasa sedikit kecewa. Begitu pula dengan Roy yang menatap lesu lapangan.

"Harusnya ada rotasi pemain. Minimal biar nggak kalah serangan begini." komentar Pras yang juga terduduk lesu di samping kiri Roy. Sesekali ia mengebas-ngebaskan syal yang melingkar di lehernya.

"Semoga aja bisa bangkit di babak kedua." timpal Roy singkat dengan suara serak.

Tak sengaja, Roy menoleh ke sebelah kanannya. Ia tak melihat Ben di sampingnya seperti sebelum pertandingan berlangsung. Dengan seulas senyum mengejek, Roy beralih memandang jauh lapangan hijau.

"Ngakunya Aremania. Baru babak pertama aja udah ninggalin tribun." gumam Roy dalam hati.

Pemuda itu berpendapat bahwa Ben meninggalkan tribun karena permainan Arema 'tak seperti biasanya'. Apalagi score masih 0-0.

Babak kedua. Aremania kembali menyuarakan nyanyiannya dengan harapan dapat membangkitkan semangat para penggawa Arema.

Benar saja, rotasi pemain dilakukan Coach Suharno. Permainan Arema mulai hidup. Tak sekedar hidup, Arema berhasil menyarangkan dua gol melalui Samsul Arif dan Gonzales. Score akhir 2-0 atas kemenangan Arema menjadi penawar rasa letih para Aremania yang sedari tadi menanti dengan harap-harap cemas.

"Alhamdulillah.." Roy bernafas lega seperti yang lain.

Sekali lagi, ia menoleh ke samping kanannya. Ia tetap tak melihat Ben di sana. Hanya ada Arema Dewata lain yang menggantikan posisi Ben.

"Maaf, umak kenal Sam Benadi?" dengan rasa penasaran, Roy menanyai orang di sampingnya.

Lelaki sepantaran Roy itu pun menoleh, "Sam Benadi? Iya, ayas kenal sama almarhum."

"Almarhum?" Roy tak mengerti maksud lelaki itu. Dahinya berkerut samar.

"Iya, Sam. Beliau meninggal dua tahun lalu. Kita merasa sangat kehilangan. Apalagi meninggalnya bisa dibilang nggak wajar. Tragis. Umak kenal Sam Benadi?" tanyanya dengan raut sedih seperti mengingat masa-masa yang sulit.

"Iya, kenal.." mengucap kata 'kenal' membuat Roy merinding, "Maksudnya, tragis?"

"Gini Sam... Dua tahun lalu, Sam Benadi hadir di Kanjuruhan untuk menonton langsung Arema. Dia datang sendiri, karena Arema Dewata tidak mengadakan tour." kenang lelaki itu, "Di Malang, dia berencana menginap di rumah yang katanya milik kenalannya, Aremania. Tapi, sehari setelah dia sampai di Malang, dia ditemukan dalam keadaan luka-luka di pinggir jalan oleh warga sekitar."

Roy mendengarkan dengan seksama. Ia dapat merasakan bahwa keringat dingin mengalir turun dari keningnya, dadanya pun bergemuruh. Namun, ia berusaha untuk bersikap tenang.

"Sam Benadi sempat dirawat di rumah sakit selama beberapa jam. Tapi,..." lelaki itu tak melanjutkan kata-katanya.

"Apa dia meninggal karena dirampok?" tanya Roy penasaran.

"Tidak. Tidak ada barangnya yang hilang saat itu. Hanya saja, sebelum Sam Benadi meninggalkan kami semua, dia sempat bercerita.. Ia didatangi beberapa orang berkaos Arema di perbatasan Malang-Pasuruan. Sam Benadi yang juga beratribut Arema awalnya tidak curiga karena menurutnya mereka adalah Aremania. Tapi, dia mulai curiga saat salah satu diantaranya membawa sejenis parang. Lalu, yang Sam Benadi tahu hanya rasa ngilu di sekujur tubuhnya, darah segar mengalir, akhirnya tak sadarkan diri." tutur lelaki itu dengan kilat kemarahan terpancar dari sepasang matanya.

Deg. Jantung Roy seperti berhenti mendengar penjelasan itu. Pikirannya berkecamuk antara rasa tak percaya juga emosi. Lalu, siapa yang ia temui dan mengajaknya mengobrol beberapa waktu lalu?

Tidak! Roy yakin dirinya tidak berhalusinasi. Apa yang baru saja ia alami adalah nyata. Bahkan, sangat nyata.

"Umak Aremania?" pertanyaan itu terlintas dalam pikirannya yang kalut.

Kini, perlahan Roy mulai mengerti maksud dilayangkannya pertanyaan itu padanya. Mungkin, Ben ingin menegaskan padanya bahwa tak semua orang yang beratribut Arema, bahkan lahir di Malang sekalipun adalah seorang Aremania. Bisa jadi ada yang menggunakan identitas sebagai 'Aremania' untuk membuat kerusuhan, sehingga pandangan orang awam terhadap Aremania menjadi negatif. Ya, bisa jadi!

Roy memejamkan matanya selama beberapa saat, ia menghela nafas panjang. Pemuda itu jadi teringat kata-kata ayahnya yang juga seorang Aremania, "Le, dadi supporter iku angel iso nyandang status 'supporter kipa'. Ben iso dipandang kipa yo dowo dalan'e. Tapi, luwih gampang ngancurno identitas kipa sing angel dibangun kuwi."

Ya, kenyataannya memang demikian. Sangat sulit membangun imej baik kelompok supporter di kalangan masyarakat awam. Tapi, karena satu tindakan buruk yang dilakukan bisa menghancurkan imej tersebut dalam sekejap saja.

Langit kini mulai menghitam, matahari sore telah menutup diri dan beristirahat di peraduannya. Roy bangkit, meregangkan kaki dan tangannya yang terasa kaku. Sungguh, hari ini adalah hari paling melelahkan bagi Roy. Bukan karena ia kehabisan tenaga untuk bernyanyi bersama kawan-kawannya di atas tribun, tapi lebih menjurus pada pikirannya yang harus menjabarkan satu persatu kaitan peristiwa aneh di hari itu.

"Pras..." ucap Roy.

Pras yang sedari tadi sibuk dengan gadget-nya jadi menoleh, "Ya?"

"Aremania tidak dinilai dari kaos yang dia kenakan, syal yang melingkar di lehernya, atau bahkan asal kelahirannya sekalipun. Tapi, Aremania murni lahir atas rasa turut memiliki juga murni karena panggilan jiwa, dan itu tidak dimiliki oleh semua orang. Iya, kan?"

Pras turut bangkit lalu tersenyum takjub di samping Roy. Ia menepuk pundak sahabatnya itu, "Ya, aku sependapat denganmu."

TAMAT
KARYA: Riska Suci Rahmawati

Cerita di atas hanyalah karangan belaka. Jika ada kesamaan nama, tempat, atau kejadian, itu hanyalah suatu kebetulan


FIKSI: SATU JIWA DARI DUNIA LAIN 
 
BACK TO AKSI TRIBUN AREMANIA 

0 komen:

AREMA FC